Friday, February 15, 2019

Aktifitas

Eksepsi perdata

EKSEPSI DAN BANTAHAN POKOK PERKARA


A.     Ruang Lingkup Eksepsi
1.      Pengertian dan Tujuan
Eksepsi atau exception berarti pengecualian. Dalam hukum acara, eksepsi adalah tangkisan, bantahan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Eksepsi diajukan penggugat menyangkut hal-hal yang bersifat formil dari sebuah gugatan, yang mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Eksepsi yang diajukan penggugat tidak ditujukan atau menyangkut pada pokok perkara (verweer ten principale). Tujuan dari eksepsi yaitu majelis hakim mengakhiri proses pemeriksaan perkara tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara dengan menjatuhkan putusan negatif, gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
2.      Cara Mengajukan Eksepsi
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134 dan Pasal 136 HIR. Cara pengajuan suatu eksepsi berbeda satu sama lain dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir atau Absolute Competency)
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut dilakukan dengan (Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv):
dapat diajukan setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat Pengadilan Negeri;
dinyatakan oleh hakim secara ex-officio (Vide Putusan MA No. 317 K/Pdt/1984), sesuai dengan bunyi Pasal 132 Rv yaitu “dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.
Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR. Menurut ketentuan tersebut, bentuk pengajuan eksepsi dapat berbentuk lisan dan tertulis, yang diajukan pada saat menyerahkan Surat Jawaban/Eksepsi (Vide Putusan MA No. 1340 K/Sip/1971).  
Eksepsi Yang Tidak Diajukan Pada Jawaban Pertama Gugur
Menurut Pasal 136 HIR, eksepsi yang tidak diajukan dengan jawaban pertama bersama-sama dengan keberatan terhadap pokok perkara, dianggap gugur. Oleh karena itu, eksepsi yang diajukan melampaui batas tidak dipertimbangkan oleh hakim. Pasal 114 Rv juga menegaskan bahwa, tergugat yang mengajukan eksepsi, wajib mengajukannya bersama-sama dengan jawaban mengenai pokok perkara.
3.      Cara Penyelesaian Eksepsi
Eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus oleh hakim sebelum memeriksa pokok perkara (Vide Pasal 136 HIR), yang dituangkan oleh hakim dalam putusan sela (interlocutory) atau dituangkan dalam putusan akhir (eind vonnis, final judgement). Eksepsi di luar berkenaan dengan kompetensi mengadili menurut Pasal 136 HIR dan Putusan MA No. 935 K/Sip/1985, diperiksa dan diputus secara bersama-sama dengan pokok perkara.

4.      Jenis Eksepsi
            Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)
Eksepsi ini berdasarkan hukum acara, yaitu jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi prosesual dibagi menjadi dua diantaranya:
1.      Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sifatnya absolut (exceptie van onbeveogheid/Eksepsi Kewenangan Absolut)) adalah pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, tetapi lingkungan atau pengadilan lain yang berwenang mengadilinya.
2.      Eksepsi tidak berwenang mengadili yang bersifat relatif (Eksepsi Kewenangan Relatif) yang diatur dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv yang berpatokan pada :
(i)           domili dari tergugat (actor sequitur forum rei),
(ii)         hak opsi dari penggugat, di mana tergugat terdiri dari beberapa orang,
(iii)       tanpa hak opsi, di mana tergugat terdiri dari debitur dan penjamin, maka tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri penjamin,
(iv)       tempat tinggal penggugat, jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya,
(v)         forum rei sitae dengan hak opsi yaitu objek sengketa benda tidak bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan untuk mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri,
(vi)       domisili hukum pilihan yang disepakati penggugat dan tergugat dalam perjanjian.    

            Eksepsi Prosesual di Luar Kompetensi Relatif
Eksepsi prosesual di luar kompetensi relatif terdiri atas:
1.      Eksepsi surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging tidak sah secara hukum (Vide Pasal 123 HIR dan Putusan MA No. 531 K/Sip/1973) karena tidak memenuhi unsur formil. Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR, Putusan MA No. 1712 K/Pdt/1984 dan SEMA No. 1 Tahun 1971 serta SEMA No. 6 Tahun 1994 surat kuasa khusus harus memuat secara jelas (i) secara spesifik kehendak untuk berperkara di Pengadilan Negeri tertentu sesuai dengan kompetensi relatif, (ii) identitas para pihak yang berperkara, (iii) menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang diperkarakan, (iv) mencamtumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa, (v) surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang.
2.      Eksepsi error in persona yaitu (i) yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berhak atau eksepsi diskualifikasi, (ii) yang ditarik sebagai tergugat keliru (Lihat Putusan MA No.601 K/Sip/1975), (iii) orang yang ditarik sebagai penggugat tidak lengkap atau kurang atau exceptio plurium litis consortium.
3.      Exceptio res judicata atau ne bis idem yaitu suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4.      Exceptio Obscuur Libel adalah surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk) atau formulasi gugatan tidak jelas. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 8 Rv yang menegaskan, pokok-pokok gugatan harus disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu, demi kepentingan beracara (process doelmatigheid). Dalam praktik eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) berbentuk, (i) tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan (Vide Putusan MA No. 1145 K/Pdt/1984). (ii) tidak jelasnya objek sengketa yang meliputi tidak disebutnya batas-batas objek sengketa, luas objek sengketa berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah dan tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasai tergugat. (iii) petitum gugatan tidak jelas yang meliputi petitum tidak dirinci dan kontradiksi antara posita dengan petitum. (iv) masalah posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
        Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exceptie)
Dari pendekatan doktrin, terdapat beberapa macam eksepsi hukum materil, dengan uraian sebagai berikut:
a.       Exceptio Dilatoir, yaitu gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampaui dini;
b.      Exceptio Peremptoir, yaitu eksepsi yang berisi sangkalan, yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Sangkalan tersebut karena, pertama gugatan sudah kadaluwarsa (Vide Pasal 1950 dan Pasal 1967 KUH Perdata) yang dapat dilihat dalam Putusan MA No. 707 K/Sip/1972. kedua peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan mengandung paksaan dan penipuan (exceptio doli mali dan exceptio metus). Ketiga objek gugatan bukan kepunyaan penggugat, melainkan tergugat atau orang lain (exceptio domini). Keempat gugatan yang diajukan sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan (exceptio litis petendis).
B.     Bantahan Terhadap Pokok Perkara
Bantahan terhadap pokok perkara disebut juga ver weer ten principale adalah tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Esensi dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau tulisan untuk melumpuhkan kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawaban.
1. Bantahan Disampaikan Dalam Jawaban
Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat (2) HIR, jawaban tergugat berisi bantahan yang diajukan baik secara lisan dan tertulis untuk menyangkal semua fakta dan dalil hukum penggugat. Proses pengajuan bantahan yang merupakan proses jawab-menjawab digariskan dalam Pasal 142 dan Pasal 117 Rv, yang memberikan kesempatan para pihak untuk menyampaikan surat jawaban, replik dan duplik dan sebagai konsekuensi asas audi altream partem dan process doelmatigheid.
Suatu bantahan dalam sebuah jawaban berisi tentang ketidakbenaran dan/atau kebenaran dalil penggugat. Isi dari jawaban penggugat dapat berupa:
a.       Jawaban penggugat diserta alasan-alasan yang rasional dan objektif (Vide Pasal 113 Rv);
b.      Membenarkan sebagian atau seluruh dalil-dalil gugatan penggugat (Vide Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata);
c.       Membantah dalil gugatan atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) atau melumpuhkan kekuatan pembuktian tergugat, yang disertai dengan alasan-alasan kebenaran dalil gugatan atau peristiwa hukum yang terjadi (Vide Pasal 113 Rv);
d.      Tidak memberi pengakuan maupun bantahan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim (referte aan het oordel des rechters) dalam jawaban.    
 
2. Bantahan Beserta Eksepsi
Jawaban yang berisi eksepsi dan pokok perkara harus dinyatakan secara sistematis dalam jawaban untuk memudahkan hakim mempelajari jawaban yang disampaikan. Sistematisasi jawaban dengan mendahulukan uraian eksepsi, pokok perkara dan kesimpulan.

Wednesday, February 13, 2019

Acara Perdata

HUKUM ACARA PERDATA


Pengertian Pokok Hukum Acara
Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil.

Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).

HIR ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 no 44

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)

Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)

Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis. BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.

Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).

Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)

Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.

Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb :
1.   Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2.   Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3.   Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
4.   Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum
5.   Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.

Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
1.   Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2.   Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan KUHAPer
3.   Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.

Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA


1.   Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.

2.   Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)

3.   Hakim bersifat aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

4.   Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)

5.   Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.

6.   Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa

7.   Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.


Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.

8.   Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.

9.   Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.

PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA PIDANA

1.   Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari negara.(Jaksa Penuntut)


2.   Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3.   Dalam acara pidana hakim bertindak memimpinsedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja.
4.   Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara pidana.


Bantuan Hukum

Memahami UU No : 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
sebagai upaya optimalisasi bantuan hukum bagi orang miskin
( Oleh : Tri Prasetiyo NFW, SH )

Pendahuluan
Undang – undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum ( rechtstaat ) dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka ( machstaat) dan pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi ( hukum dasar ), tidak bersifat absolutisme ( kekuasaan yang tidak  tak  terbatas ). Amanat tersebut tentunya di dasarkan pada tujuan untuk memujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib serta menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum.
Beberapa ciri khas dalam negara hukum antara lain pengakuan dan perlindungan hak asasi, serta peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu atau kekuatan lain dan tidak memihak. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum baik pejabat maupun rakyat, namun banyak yang terjadi perbedaan dalam perlakuan  mengenai hak- hak masyarakat di bidang hukum kaitannya dengan masyarakat kecil atau bisa di sebut juga masyarakat miskin. Sebagian besar masyarakat masih mempercayai bahwa hukum itu bisa di beli, siapa yang berduit pasti menang, ada juga pandangan yang mengatakan “ hilang ayam bila terbentur masalah hukum malah akan kehilangan sapi “ dan sebagainya.
Pembicaraan mengenai peranan pendapat umum pada akhirnya akan membawa pembicaraan kepada soal – soal “ kesadaran hukum “, “perasaan hukum”, “sikap hukum “ dan sebagainya. Membicarakan hukum adalah hubungan antar manusia,yang berujung pada keadilan , hal ini kita tidak dapat hanya sampai pada suatu bangunan aturan yang formal namun kita harus melihatnya sebagai ekspresi cita – cita keadilan masyarakat.
Organisasi Bantuan Hukum “ Sekar Jepara “  yang notabene berkecimpung dalam lembaga bantuan hukum non profit dalam program kerjanya memberikan bantuan hukum baik Non  litigasi ( di luar pengadilan) dan litigasi ( dalam Pengadilan )  juga memberikan pembelajaran hukum pada masyarakat umumnya, guna memenuhi masyarakat yang sadar akan hukum, mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara yang  mempunyai persamaan hak dalam hukum. Untuk mewujudkan masyarakat yang mematuhi hukum dan terhindar dari diskriminasi hukum. Khususnya masyarakat yang termarginalkan                ( terpinggirkan) dan miskin.
Memahami  Undang – undang  No : 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum.
Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus di implementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.

Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin.


Disamping itu kegiatan bantuan hukum harus dilakukan secara lebih terpadu dan transparan bersama kegiatan penyuluhan hukum. Hal ini perlu disadari karena program bantuan hukum sebenarnya mempunyai tujuan ganda, yaitu :
1. Tujuan Kemanusiaan.
Program bantuan hukum diberikan dalam rangka meringankan beban hidup  golongan masyarakat yang kurang mampu, sehingga mereka juga dapat menikmati kesempatan memperoleh keadilan dan perlindungan hukum.
2. Tujuan Peningkatan Kesadaran Hukum.
Program bantuan hukum diharapkan dapat mendidik masyarakat untuk  meningkatkan kadar kesadaran hukum, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat.

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan hukum
2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin
3. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
5. Standar Bantuan Hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Menteri.
6. Kode Etik Advokat adalah kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi advokat yang berlaku bagi Advokat.

Pasal 2

Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan;
b. persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. keterbukaan;
d. efisiensi;
e. efektivitas; dan
f. akuntabilitas.



Pasal 3

Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk:
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan
    Hukum untuk mendapatkan akses keadilan
b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai     dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum

BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 4

1)   Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang       menghadapi masalah hukum.
2)   Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
3)   Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain  untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.

Siapakah yang berhak mendapat bantuan hukum ?

Pasal 5

1)   Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.
2)   Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan,layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.

Adapun pemberi bantuan hukum juga di sebut dalam Undang – undang ini

Keterkaitan Organisasi Bantuan Hukum “ Sekar Jepara “ sebagai lembaga pemberi bantuan hukum dalam menyelenggarakan penyuluhan hukum, ini sesuai dengan pasal 9 di bawah ini yang menyebutkan bahwa :
Pasal 9

Pemberi Bantuan Hukum berhak:
a.    melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan    mahasiswa fakultas hukum;
b.   melakukan pelayanan Bantuan Hukum
c.    menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan  dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d.   menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini
e.    mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
f.     mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan
g.    mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum.

SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
Pasal 14
(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum  harus memenuhi syarat-syarat:
a.    mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum
b.   menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c.    melampirkan surat keterangan miskin dari lurah,kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
(2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.

Penutup
Pada garis besarnya salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah penggunaan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya di pakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga mengarahkan tujuan-tujuan yang di kehendaki,menghapuskan kebiasaan yang di pandang tidak sesuai lagi,menciptakan pola-pola baru dan sebagainya.
Tujuan penyuluhan ini di harapkan akan menambah wawasan dan pengetahuan hukum,dengan adanya bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin yang di sebutkan dalam Undang-bantuan hukum. Demikian juga seorang advokat dalam undang-undang di sebutkan dalam pasal 1 butir 9  : Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.

Ucapan terima kasih saya sampaikan pada pihak-pihak yang telah memberi kesempatan dalam penyuluhan hukum ini,semoga dapat bermanfaat untuk kesadaran hukum yang berkembang di masyarakat, tidak adanya diskriminasi hukum dan menjadikan hukum yang berkeadilan dan berkepastian.
Mengutip kata bijak : “ Tegakkan keadilan walau langit runtuh “ dan tak ada gading yang tak retak, demikian makalah ini saya sampaikan apabila ada kesalahan mohon maaf yang sebesar besarnya, kritik dan saran yang bersifat membangun  saya harapkan. Terima kasih.
Jepara 11 Nopember  2017

Oleh :
Tri Prasetiyo NFW , SH
( Advokat & Konsultan Hukum )  Hp : 081 225 19740

DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang No : 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Prof.DR.Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum,1986
Undang- undang No : 18 Tahun 2013 tentang Advokat





Foto Aktifitas kepengacaraan