Advokat / konsultan Hukum yang secara Profesional menangani segala permasalahan hukum baik perdata,pidana,PTUN secara Litigasi maupun Non Litigasi. Alamat : Perum Demaan Permai Jl. Seroja I No : 21 Demaan RT : 01 RW : 06 Jepara HP / WA : 081 225 19740
Friday, February 15, 2019
Eksepsi perdata
EKSEPSI DAN BANTAHAN POKOK PERKARA
A. Ruang Lingkup Eksepsi
1. Pengertian dan Tujuan
Eksepsi atau exception berarti pengecualian. Dalam hukum acara, eksepsi adalah tangkisan, bantahan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Eksepsi diajukan penggugat menyangkut hal-hal yang bersifat formil dari sebuah gugatan, yang mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Eksepsi yang diajukan penggugat tidak ditujukan atau menyangkut pada pokok perkara (verweer ten principale). Tujuan dari eksepsi yaitu majelis hakim mengakhiri proses pemeriksaan perkara tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara dengan menjatuhkan putusan negatif, gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
2. Cara Mengajukan Eksepsi
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134 dan Pasal 136 HIR. Cara pengajuan suatu eksepsi berbeda satu sama lain dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir atau Absolute Competency)
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut dilakukan dengan (Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv):
dapat diajukan setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat Pengadilan Negeri;
dinyatakan oleh hakim secara ex-officio (Vide Putusan MA No. 317 K/Pdt/1984), sesuai dengan bunyi Pasal 132 Rv yaitu “dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.
Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR. Menurut ketentuan tersebut, bentuk pengajuan eksepsi dapat berbentuk lisan dan tertulis, yang diajukan pada saat menyerahkan Surat Jawaban/Eksepsi (Vide Putusan MA No. 1340 K/Sip/1971).
Eksepsi Yang Tidak Diajukan Pada Jawaban Pertama Gugur
Menurut Pasal 136 HIR, eksepsi yang tidak diajukan dengan jawaban pertama bersama-sama dengan keberatan terhadap pokok perkara, dianggap gugur. Oleh karena itu, eksepsi yang diajukan melampaui batas tidak dipertimbangkan oleh hakim. Pasal 114 Rv juga menegaskan bahwa, tergugat yang mengajukan eksepsi, wajib mengajukannya bersama-sama dengan jawaban mengenai pokok perkara.
3. Cara Penyelesaian Eksepsi
Eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus oleh hakim sebelum memeriksa pokok perkara (Vide Pasal 136 HIR), yang dituangkan oleh hakim dalam putusan sela (interlocutory) atau dituangkan dalam putusan akhir (eind vonnis, final judgement). Eksepsi di luar berkenaan dengan kompetensi mengadili menurut Pasal 136 HIR dan Putusan MA No. 935 K/Sip/1985, diperiksa dan diputus secara bersama-sama dengan pokok perkara.
4. Jenis Eksepsi
Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)
Eksepsi ini berdasarkan hukum acara, yaitu jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi prosesual dibagi menjadi dua diantaranya:
1. Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sifatnya absolut (exceptie van onbeveogheid/Eksepsi Kewenangan Absolut)) adalah pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, tetapi lingkungan atau pengadilan lain yang berwenang mengadilinya.
2. Eksepsi tidak berwenang mengadili yang bersifat relatif (Eksepsi Kewenangan Relatif) yang diatur dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv yang berpatokan pada :
(i) domili dari tergugat (actor sequitur forum rei),
(ii) hak opsi dari penggugat, di mana tergugat terdiri dari beberapa orang,
(iii) tanpa hak opsi, di mana tergugat terdiri dari debitur dan penjamin, maka tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri penjamin,
(iv) tempat tinggal penggugat, jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya,
(v) forum rei sitae dengan hak opsi yaitu objek sengketa benda tidak bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan untuk mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri,
(vi) domisili hukum pilihan yang disepakati penggugat dan tergugat dalam perjanjian.
Eksepsi Prosesual di Luar Kompetensi Relatif
Eksepsi prosesual di luar kompetensi relatif terdiri atas:
1. Eksepsi surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging tidak sah secara hukum (Vide Pasal 123 HIR dan Putusan MA No. 531 K/Sip/1973) karena tidak memenuhi unsur formil. Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR, Putusan MA No. 1712 K/Pdt/1984 dan SEMA No. 1 Tahun 1971 serta SEMA No. 6 Tahun 1994 surat kuasa khusus harus memuat secara jelas (i) secara spesifik kehendak untuk berperkara di Pengadilan Negeri tertentu sesuai dengan kompetensi relatif, (ii) identitas para pihak yang berperkara, (iii) menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang diperkarakan, (iv) mencamtumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa, (v) surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang.
2. Eksepsi error in persona yaitu (i) yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berhak atau eksepsi diskualifikasi, (ii) yang ditarik sebagai tergugat keliru (Lihat Putusan MA No.601 K/Sip/1975), (iii) orang yang ditarik sebagai penggugat tidak lengkap atau kurang atau exceptio plurium litis consortium.
3. Exceptio res judicata atau ne bis idem yaitu suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Exceptio Obscuur Libel adalah surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk) atau formulasi gugatan tidak jelas. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 8 Rv yang menegaskan, pokok-pokok gugatan harus disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu, demi kepentingan beracara (process doelmatigheid). Dalam praktik eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) berbentuk, (i) tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan (Vide Putusan MA No. 1145 K/Pdt/1984). (ii) tidak jelasnya objek sengketa yang meliputi tidak disebutnya batas-batas objek sengketa, luas objek sengketa berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah dan tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasai tergugat. (iii) petitum gugatan tidak jelas yang meliputi petitum tidak dirinci dan kontradiksi antara posita dengan petitum. (iv) masalah posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exceptie)
Dari pendekatan doktrin, terdapat beberapa macam eksepsi hukum materil, dengan uraian sebagai berikut:
a. Exceptio Dilatoir, yaitu gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampaui dini;
b. Exceptio Peremptoir, yaitu eksepsi yang berisi sangkalan, yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Sangkalan tersebut karena, pertama gugatan sudah kadaluwarsa (Vide Pasal 1950 dan Pasal 1967 KUH Perdata) yang dapat dilihat dalam Putusan MA No. 707 K/Sip/1972. kedua peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan mengandung paksaan dan penipuan (exceptio doli mali dan exceptio metus). Ketiga objek gugatan bukan kepunyaan penggugat, melainkan tergugat atau orang lain (exceptio domini). Keempat gugatan yang diajukan sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan (exceptio litis petendis).
B. Bantahan Terhadap Pokok Perkara
Bantahan terhadap pokok perkara disebut juga ver weer ten principale adalah tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Esensi dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau tulisan untuk melumpuhkan kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawaban.
1. Bantahan Disampaikan Dalam Jawaban
Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat (2) HIR, jawaban tergugat berisi bantahan yang diajukan baik secara lisan dan tertulis untuk menyangkal semua fakta dan dalil hukum penggugat. Proses pengajuan bantahan yang merupakan proses jawab-menjawab digariskan dalam Pasal 142 dan Pasal 117 Rv, yang memberikan kesempatan para pihak untuk menyampaikan surat jawaban, replik dan duplik dan sebagai konsekuensi asas audi altream partem dan process doelmatigheid.
Suatu bantahan dalam sebuah jawaban berisi tentang ketidakbenaran dan/atau kebenaran dalil penggugat. Isi dari jawaban penggugat dapat berupa:
a. Jawaban penggugat diserta alasan-alasan yang rasional dan objektif (Vide Pasal 113 Rv);
b. Membenarkan sebagian atau seluruh dalil-dalil gugatan penggugat (Vide Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata);
c. Membantah dalil gugatan atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) atau melumpuhkan kekuatan pembuktian tergugat, yang disertai dengan alasan-alasan kebenaran dalil gugatan atau peristiwa hukum yang terjadi (Vide Pasal 113 Rv);
d. Tidak memberi pengakuan maupun bantahan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim (referte aan het oordel des rechters) dalam jawaban.
2. Bantahan Beserta Eksepsi
Jawaban yang berisi eksepsi dan pokok perkara harus dinyatakan secara sistematis dalam jawaban untuk memudahkan hakim mempelajari jawaban yang disampaikan. Sistematisasi jawaban dengan mendahulukan uraian eksepsi, pokok perkara dan kesimpulan.
A. Ruang Lingkup Eksepsi
1. Pengertian dan Tujuan
Eksepsi atau exception berarti pengecualian. Dalam hukum acara, eksepsi adalah tangkisan, bantahan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Eksepsi diajukan penggugat menyangkut hal-hal yang bersifat formil dari sebuah gugatan, yang mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Eksepsi yang diajukan penggugat tidak ditujukan atau menyangkut pada pokok perkara (verweer ten principale). Tujuan dari eksepsi yaitu majelis hakim mengakhiri proses pemeriksaan perkara tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara dengan menjatuhkan putusan negatif, gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
2. Cara Mengajukan Eksepsi
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134 dan Pasal 136 HIR. Cara pengajuan suatu eksepsi berbeda satu sama lain dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir atau Absolute Competency)
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut dilakukan dengan (Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv):
dapat diajukan setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat Pengadilan Negeri;
dinyatakan oleh hakim secara ex-officio (Vide Putusan MA No. 317 K/Pdt/1984), sesuai dengan bunyi Pasal 132 Rv yaitu “dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.
Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR. Menurut ketentuan tersebut, bentuk pengajuan eksepsi dapat berbentuk lisan dan tertulis, yang diajukan pada saat menyerahkan Surat Jawaban/Eksepsi (Vide Putusan MA No. 1340 K/Sip/1971).
Eksepsi Yang Tidak Diajukan Pada Jawaban Pertama Gugur
Menurut Pasal 136 HIR, eksepsi yang tidak diajukan dengan jawaban pertama bersama-sama dengan keberatan terhadap pokok perkara, dianggap gugur. Oleh karena itu, eksepsi yang diajukan melampaui batas tidak dipertimbangkan oleh hakim. Pasal 114 Rv juga menegaskan bahwa, tergugat yang mengajukan eksepsi, wajib mengajukannya bersama-sama dengan jawaban mengenai pokok perkara.
3. Cara Penyelesaian Eksepsi
Eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus oleh hakim sebelum memeriksa pokok perkara (Vide Pasal 136 HIR), yang dituangkan oleh hakim dalam putusan sela (interlocutory) atau dituangkan dalam putusan akhir (eind vonnis, final judgement). Eksepsi di luar berkenaan dengan kompetensi mengadili menurut Pasal 136 HIR dan Putusan MA No. 935 K/Sip/1985, diperiksa dan diputus secara bersama-sama dengan pokok perkara.
4. Jenis Eksepsi
Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)
Eksepsi ini berdasarkan hukum acara, yaitu jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi prosesual dibagi menjadi dua diantaranya:
1. Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sifatnya absolut (exceptie van onbeveogheid/Eksepsi Kewenangan Absolut)) adalah pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, tetapi lingkungan atau pengadilan lain yang berwenang mengadilinya.
2. Eksepsi tidak berwenang mengadili yang bersifat relatif (Eksepsi Kewenangan Relatif) yang diatur dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv yang berpatokan pada :
(i) domili dari tergugat (actor sequitur forum rei),
(ii) hak opsi dari penggugat, di mana tergugat terdiri dari beberapa orang,
(iii) tanpa hak opsi, di mana tergugat terdiri dari debitur dan penjamin, maka tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri penjamin,
(iv) tempat tinggal penggugat, jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya,
(v) forum rei sitae dengan hak opsi yaitu objek sengketa benda tidak bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan untuk mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri,
(vi) domisili hukum pilihan yang disepakati penggugat dan tergugat dalam perjanjian.
Eksepsi Prosesual di Luar Kompetensi Relatif
Eksepsi prosesual di luar kompetensi relatif terdiri atas:
1. Eksepsi surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging tidak sah secara hukum (Vide Pasal 123 HIR dan Putusan MA No. 531 K/Sip/1973) karena tidak memenuhi unsur formil. Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR, Putusan MA No. 1712 K/Pdt/1984 dan SEMA No. 1 Tahun 1971 serta SEMA No. 6 Tahun 1994 surat kuasa khusus harus memuat secara jelas (i) secara spesifik kehendak untuk berperkara di Pengadilan Negeri tertentu sesuai dengan kompetensi relatif, (ii) identitas para pihak yang berperkara, (iii) menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang diperkarakan, (iv) mencamtumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa, (v) surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang.
2. Eksepsi error in persona yaitu (i) yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berhak atau eksepsi diskualifikasi, (ii) yang ditarik sebagai tergugat keliru (Lihat Putusan MA No.601 K/Sip/1975), (iii) orang yang ditarik sebagai penggugat tidak lengkap atau kurang atau exceptio plurium litis consortium.
3. Exceptio res judicata atau ne bis idem yaitu suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Exceptio Obscuur Libel adalah surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk) atau formulasi gugatan tidak jelas. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 8 Rv yang menegaskan, pokok-pokok gugatan harus disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu, demi kepentingan beracara (process doelmatigheid). Dalam praktik eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) berbentuk, (i) tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan (Vide Putusan MA No. 1145 K/Pdt/1984). (ii) tidak jelasnya objek sengketa yang meliputi tidak disebutnya batas-batas objek sengketa, luas objek sengketa berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah dan tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasai tergugat. (iii) petitum gugatan tidak jelas yang meliputi petitum tidak dirinci dan kontradiksi antara posita dengan petitum. (iv) masalah posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exceptie)
Dari pendekatan doktrin, terdapat beberapa macam eksepsi hukum materil, dengan uraian sebagai berikut:
a. Exceptio Dilatoir, yaitu gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampaui dini;
b. Exceptio Peremptoir, yaitu eksepsi yang berisi sangkalan, yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Sangkalan tersebut karena, pertama gugatan sudah kadaluwarsa (Vide Pasal 1950 dan Pasal 1967 KUH Perdata) yang dapat dilihat dalam Putusan MA No. 707 K/Sip/1972. kedua peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan mengandung paksaan dan penipuan (exceptio doli mali dan exceptio metus). Ketiga objek gugatan bukan kepunyaan penggugat, melainkan tergugat atau orang lain (exceptio domini). Keempat gugatan yang diajukan sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan (exceptio litis petendis).
B. Bantahan Terhadap Pokok Perkara
Bantahan terhadap pokok perkara disebut juga ver weer ten principale adalah tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Esensi dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau tulisan untuk melumpuhkan kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawaban.
1. Bantahan Disampaikan Dalam Jawaban
Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat (2) HIR, jawaban tergugat berisi bantahan yang diajukan baik secara lisan dan tertulis untuk menyangkal semua fakta dan dalil hukum penggugat. Proses pengajuan bantahan yang merupakan proses jawab-menjawab digariskan dalam Pasal 142 dan Pasal 117 Rv, yang memberikan kesempatan para pihak untuk menyampaikan surat jawaban, replik dan duplik dan sebagai konsekuensi asas audi altream partem dan process doelmatigheid.
Suatu bantahan dalam sebuah jawaban berisi tentang ketidakbenaran dan/atau kebenaran dalil penggugat. Isi dari jawaban penggugat dapat berupa:
a. Jawaban penggugat diserta alasan-alasan yang rasional dan objektif (Vide Pasal 113 Rv);
b. Membenarkan sebagian atau seluruh dalil-dalil gugatan penggugat (Vide Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata);
c. Membantah dalil gugatan atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) atau melumpuhkan kekuatan pembuktian tergugat, yang disertai dengan alasan-alasan kebenaran dalil gugatan atau peristiwa hukum yang terjadi (Vide Pasal 113 Rv);
d. Tidak memberi pengakuan maupun bantahan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim (referte aan het oordel des rechters) dalam jawaban.
2. Bantahan Beserta Eksepsi
Jawaban yang berisi eksepsi dan pokok perkara harus dinyatakan secara sistematis dalam jawaban untuk memudahkan hakim mempelajari jawaban yang disampaikan. Sistematisasi jawaban dengan mendahulukan uraian eksepsi, pokok perkara dan kesimpulan.
Wednesday, February 13, 2019
Acara Perdata
HUKUM ACARA PERDATA
Pengertian Pokok Hukum Acara
Untuk menjalankan tugas
dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan
hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika
norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang
hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang
mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan
peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu
rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan
mempertahankan hukum materiil.
Hukum Acara disebut juga
Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang
dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia
Baru (RIB).
HIR ini merupakan bagian
dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum
dalam Stb 1941 no 44
Hukum Acara Perdata adalah
rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan
kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga
hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga
diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan
mempertahankan Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)
Hukum Acara Perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)
Hukum Perdata (materiil)
yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi
peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis.
BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak
tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Fungsi dari Hukum Perdata
Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya
Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan
Hukum Acara Perdata ini.
Lapangan keperdataan memuat
peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai
kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang
piutang, hak milik, waris, dsb).
Perkara perdata adalah perkara
mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan
suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan
tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)
Lembaga-lembaga hukum yang
terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor
catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan
kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah
(Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan
Pengacara.
Dalam bidang Hukum Acara
pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb :
1.
Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2.
Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3.
Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan badan negara lainnya.
4.
Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar
hukum
5.
Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan
terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu
terbuka.
Hukum Acara Perdata
Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
1.
Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi
golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2.
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang
berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan
KUHAPer
3.
Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku
bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.
Dalam kenyataan pelaksanaan
hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh
Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan
menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1.
Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara
perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak
pada pihak yang berkepentingan.
2.
Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu
perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan
dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak
dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam
masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)
3.
Hakim bersifat aktif
Hakim membantu
para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
4.
Persidangan yang terbuka
Asas ini
dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang
peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah
dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)
5.
Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara
perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta
tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini
berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk
memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang
dihadiri oleh keduabelah pihak.
6.
Putusan harus disertai alasan
Bila proses
pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut.
Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk
mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan
pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara
dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa
7.
Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu
acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Cepat menunjuk
pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya
peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau
para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan
maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.
8.
Obyektivitas
Hakim tidak boleh
bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila
ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9.
Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia
tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD.
Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No.
14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap
peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat
menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN
HUKUM ACARA PIDANA
1.
Inisiatif melakukan acara perdata datang dari
pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari
negara.(Jaksa Penuntut)
2.
Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam
persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal
pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3.
Dalam acara pidana hakim bertindak memimpinsedangkan
dalam acara perdata hakim menunggu saja.
4.
Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan
peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara
pidana.
Bantuan Hukum
Memahami UU No : 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
sebagai upaya optimalisasi bantuan hukum bagi orang
miskin
(
Oleh : Tri Prasetiyo NFW, SH )
Pendahuluan
Undang – undang Dasar
1945 mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum ( rechtstaat
) dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka ( machstaat) dan pemerintah
berdasarkan atas sistem konstitusi ( hukum dasar ), tidak bersifat absolutisme
( kekuasaan yang tidak tak terbatas ). Amanat tersebut tentunya di
dasarkan pada tujuan untuk memujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera,
aman, tenteram dan tertib serta menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam
hukum.
Beberapa ciri khas dalam
negara hukum antara lain pengakuan dan perlindungan hak asasi, serta peradilan
yang bebas dari pengaruh sesuatu atau kekuatan lain dan tidak memihak. Semua
orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum baik pejabat maupun rakyat,
namun banyak yang terjadi perbedaan dalam perlakuan mengenai hak- hak masyarakat di bidang hukum
kaitannya dengan masyarakat kecil atau bisa di sebut juga masyarakat miskin.
Sebagian besar masyarakat masih mempercayai bahwa hukum itu bisa di beli, siapa
yang berduit pasti menang, ada juga pandangan yang mengatakan “ hilang ayam
bila terbentur masalah hukum malah akan kehilangan sapi “ dan sebagainya.
Pembicaraan mengenai
peranan pendapat umum pada akhirnya akan membawa pembicaraan kepada soal – soal
“ kesadaran hukum “, “perasaan hukum”, “sikap hukum “ dan sebagainya.
Membicarakan hukum adalah hubungan antar manusia,yang berujung pada keadilan ,
hal ini kita tidak dapat hanya sampai pada suatu bangunan aturan yang formal
namun kita harus melihatnya sebagai ekspresi cita – cita keadilan masyarakat.
Organisasi Bantuan Hukum
“ Sekar Jepara “ yang notabene
berkecimpung dalam lembaga bantuan hukum non
profit dalam program kerjanya memberikan bantuan hukum baik Non litigasi ( di luar pengadilan) dan litigasi (
dalam Pengadilan ) juga memberikan
pembelajaran hukum pada masyarakat umumnya, guna memenuhi masyarakat yang sadar
akan hukum, mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara yang mempunyai persamaan hak dalam hukum. Untuk
mewujudkan masyarakat yang mematuhi hukum dan terhindar dari diskriminasi
hukum. Khususnya masyarakat yang termarginalkan ( terpinggirkan) dan miskin.
Memahami Undang – undang No : 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai
tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi
manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum.
Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan
upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang
mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan
akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan
hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional
tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang
tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara
khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses
keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara
harus di implementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.
Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak
menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk
mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan
hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum
dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang
atau kelompok orang miskin.
Disamping
itu kegiatan bantuan hukum harus dilakukan secara lebih terpadu dan transparan
bersama kegiatan penyuluhan hukum. Hal ini perlu disadari karena program
bantuan hukum sebenarnya mempunyai tujuan ganda, yaitu :
1. Tujuan Kemanusiaan.
Program
bantuan hukum diberikan dalam rangka meringankan beban hidup golongan masyarakat yang kurang mampu,
sehingga mereka juga dapat menikmati kesempatan memperoleh keadilan dan
perlindungan hukum.
2. Tujuan Peningkatan Kesadaran Hukum.
Program
bantuan hukum diharapkan dapat mendidik masyarakat untuk meningkatkan kadar kesadaran hukum, sehingga
setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai
warga negara dan warga masyarakat.
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum
secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan hukum
2.
Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin
3.
Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
4.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
5.
Standar Bantuan Hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum yang
ditetapkan oleh Menteri.
6.
Kode Etik Advokat adalah kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi
advokat yang berlaku bagi Advokat.
Pasal 2
Bantuan
Hukum dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan;
b. persamaan kedudukan di dalam
hukum;
c.
keterbukaan;
d.
efisiensi;
e.
efektivitas; dan
f.
akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan
Bantuan Hukum bertujuan untuk:
a.
menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan
Hukum untuk mendapatkan akses keadilan
b.
mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam
hukum
BAB
II
RUANG
LINGKUP
Pasal 4
1)
Bantuan
Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum.
2)
Bantuan
Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan,
pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
3)
Bantuan
Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau
melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
Siapakah yang berhak mendapat bantuan
hukum ?
Pasal 5
1)
Penerima
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang
atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak
dan mandiri.
2)
Hak
dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang,
layanan kesehatan,layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Adapun pemberi bantuan hukum juga di
sebut dalam Undang – undang ini
Keterkaitan
Organisasi Bantuan Hukum “ Sekar Jepara “ sebagai lembaga pemberi bantuan hukum
dalam menyelenggarakan penyuluhan hukum, ini sesuai dengan pasal 9 di bawah ini
yang menyebutkan bahwa :
Pasal 9
Pemberi
Bantuan Hukum berhak:
a.
melakukan
rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum;
b.
melakukan
pelayanan Bantuan Hukum
c.
menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program
kegiatan lain yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d.
menerima
anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang
ini
e.
mengeluarkan
pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya
di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
f.
mendapatkan
informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk
kepentingan pembelaan perkara; dan
g.
mendapatkan
jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian
Bantuan Hukum.
SYARAT
DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
Pasal 14
(1)
Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat-syarat:
a.
mengajukan
permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan
uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum
b.
menyerahkan
dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c.
melampirkan
surat keterangan miskin dari lurah,kepala desa, atau pejabat yang setingkat di
tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
(2)
Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara
tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.
Penutup
Pada
garis besarnya salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern
adalah penggunaan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya di
pakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat
dalam masyarakat, melainkan juga mengarahkan tujuan-tujuan yang di
kehendaki,menghapuskan kebiasaan yang di pandang tidak sesuai lagi,menciptakan
pola-pola baru dan sebagainya.
Tujuan
penyuluhan ini di harapkan akan menambah wawasan dan pengetahuan hukum,dengan
adanya bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi masyarakat khususnya masyarakat
miskin yang di sebutkan dalam Undang-bantuan hukum. Demikian juga seorang
advokat dalam undang-undang di sebutkan dalam pasal 1 butir 9 : Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang
diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.
Ucapan
terima kasih saya sampaikan pada pihak-pihak yang telah memberi kesempatan
dalam penyuluhan hukum ini,semoga dapat bermanfaat untuk kesadaran hukum yang
berkembang di masyarakat, tidak adanya diskriminasi hukum dan menjadikan hukum
yang berkeadilan dan berkepastian.
Mengutip
kata bijak : “ Tegakkan keadilan walau langit runtuh “ dan tak ada gading yang
tak retak, demikian makalah ini saya sampaikan apabila ada kesalahan mohon maaf
yang sebesar besarnya, kritik dan saran yang bersifat membangun saya harapkan. Terima kasih.
Jepara
11 Nopember 2017
Oleh :
Tri Prasetiyo NFW , SH
( Advokat & Konsultan Hukum ) Hp : 081 225 19740
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-undang
No : 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Prof.DR.Satjipto
Rahardjo, SH, Ilmu Hukum,1986
Undang-
undang No : 18 Tahun 2013 tentang Advokat
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
HUKUM ACARA PERDATA Pengertian Pokok Hukum Acara Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan per...