HUKUM ACARA PERDATA
Pengertian Pokok Hukum Acara
Untuk menjalankan tugas
dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan
hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika
norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang
hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang
mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan
peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu
rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan
mempertahankan hukum materiil.
Hukum Acara disebut juga
Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang
dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia
Baru (RIB).
HIR ini merupakan bagian
dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum
dalam Stb 1941 no 44
Hukum Acara Perdata adalah
rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan
kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga
hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga
diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan
mempertahankan Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)
Hukum Acara Perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)
Hukum Perdata (materiil)
yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi
peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis.
BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak
tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Fungsi dari Hukum Perdata
Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya
Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan
Hukum Acara Perdata ini.
Lapangan keperdataan memuat
peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai
kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang
piutang, hak milik, waris, dsb).
Perkara perdata adalah perkara
mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan
suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan
tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)
Lembaga-lembaga hukum yang
terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor
catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan
kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah
(Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan
Pengacara.
Dalam bidang Hukum Acara
pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb :
1.
Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2.
Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3.
Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan badan negara lainnya.
4.
Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar
hukum
5.
Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan
terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu
terbuka.
Hukum Acara Perdata
Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
1.
Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi
golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2.
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang
berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan
KUHAPer
3.
Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku
bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.
Dalam kenyataan pelaksanaan
hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh
Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan
menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1.
Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara
perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak
pada pihak yang berkepentingan.
2.
Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu
perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan
dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak
dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam
masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)
3.
Hakim bersifat aktif
Hakim membantu
para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
4.
Persidangan yang terbuka
Asas ini
dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang
peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah
dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)
5.
Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara
perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta
tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini
berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk
memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang
dihadiri oleh keduabelah pihak.
6.
Putusan harus disertai alasan
Bila proses
pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut.
Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk
mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan
pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara
dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa
7.
Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu
acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Cepat menunjuk
pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya
peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau
para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan
maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.
8.
Obyektivitas
Hakim tidak boleh
bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila
ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9.
Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia
tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD.
Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No.
14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap
peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat
menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN
HUKUM ACARA PIDANA
1.
Inisiatif melakukan acara perdata datang dari
pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari
negara.(Jaksa Penuntut)
2.
Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam
persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal
pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3.
Dalam acara pidana hakim bertindak memimpinsedangkan
dalam acara perdata hakim menunggu saja.
4.
Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan
peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara
pidana.
No comments:
Post a Comment