Wednesday, July 7, 2021

Foto Aktifitas kepengacaraan

 






Warkah Tanah dan fungsinya

 

Pengertian Warkah Tanah dan Fungsinya

Bagi yang mengurus jual beli tanah yang telah bersertipikat mungkin pernah mendengar istilah Warkah, dan kemudian menjadi penasaran Apa itu Warkah, kenapa sepertinya surat yang bernama warkah penting sekali?

Warkah Secara Historis, Menurut pendapat penulis, penggunaan istilah warkah berasal dari kalimat belanda “Waarmerkh“- yang artinya “Tanda” pengertian ini merujuk pada pengertian surat yang telah ditandai atau bukti bahwa telah diperiksa oleh pejabat yg berwenang, karena hukum yang dianut oleh Indonesia merupakan hukum peninggalan Belanda maka istilah ini masih dipakai oleh Notaris dan PPAT yang dikenal dengan disebut “Waarmerjking“. Penggunaan istilah ini juga digunakan oleh Institusi pemerintah terutama oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) namun sesuai dengan kaidah bahasa namanya berubah menjadi Warkah.

Pengertian Warkah, Pengertian Warkah ini biasanya merujuk kepada warkah pendaftaran tanah yang dimiliki dan digunakan pada lingkungan Badan Pertanahan Nasional yaitu merupakan kumpulan berkas-berkas yang digunakan sebagai dasar dalam penerbitan sertipikat tanah untuk sebidang tanah. Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang dimaksud dengan warkah adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran bidang tanah tersebut. Jadi secara umum warkah yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana maupun perdata untuk diserahkan oleh pemegang hak atau kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan ke Kantor Pertanahan sebagai bahan penelitian dan pengumuman data yuridis bidang tanah yang bersangkutan dan untuk selanjutnya disimpan sebagai warkah di Kantor Pertanahan.

Isi Warkah, Warkah yang disimpan oleh Kantor Pertanahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sertipikat Tanah yang diterbitkan oleh BPN, Didalam warkah tersebut berisi berbagai Surat / berkas yang dipersyaratkan, terutama sekali adalah riwayat beserta bukti penguasaan atau kepemilikan tanah, :yang dapat dijadikan dalam membuat sertipikat asli atau berupa fotocopi (salinan) yang terdiri dari :

·         Fotocopi identitas pemohon (KTP)

·         Bukti perolehan tanah (Surat Penguasaan Tanah dari Pejabat yang berwenang, Keterangan Waris, Letter C, Akta Verbonding / Belanda, akta-akta PPAT. dll)

·         Berkas-berkas pendukung lainnya yang berasal dari formulir yang dipersyaratkan (permohonan, pernyataan-pernyataan, berita acara, dll)

·         dokumen mengenai bidang tanah yang dibuat dalam proses sertipikat (peta pendaftaran, daftar isian tanah, surat ukur, buku tanah, SK Pemberian Hak Atas Tanah)

·         Lampiran – lampiran lain yang diperlukan (Fotocopy SPPT-PBB, buktisetor pajak, IMB, dll)

Untuk melihat dan mengetahui apa saja bukti-bukti otentik penguasaan tanah yang dapat digunakan sebagai prasyarat pembuatan sertipikat lihat tulisan berikut:

Surat / Bukti Asli Kepemilikan dan atau Penguasaan Tanah

Melihat Informasi Warkah, Sebagai dokumen yang dikelola oleh Instansi Pemerintah Warkah menjadi Dokumen Negara yang penting, oleh karena itu yang tidak sembarangan orang / lembaga dapat melihatnya dan mendapatkan informasi dari warkah. Untuk bisa melihat dan mendapatkan informasi yang terdapat dalam warkah yang disimpan di Kantor Pertanahan selain oleh pengadilan, maka masyarakat harus mengajukan ijin resmi kepada Kantor Pertanahan setempat sesuai kedudukan bidang tanah berada, dan tentunya harus memenuhi berbagai persyaratan dan prosedur yang telah ditentukan.

Fungsi Warkah, Warkah yang dikelola oleh BPN merupakan jenis dokumen penting yang memiliki umur retensi tidak terbatas, dalam istilah kearsipan Warkah disebut sebagai “Arsip Hidup” oleh karena itu sepanjang bidang tanah yang disertipikatkan itu tidak hilang maka warkah itu masih tetap berlaku. Hal ini dikarenakan fungsi warkah yang merupakan nyawa dari seluruh pertanahan di Indonesia dan digunakan sebagai bukti penerbitan sertipikat oleh BPN sehingga jika muncul permasalahan yang terkait dengan bidang – bidang tanah yang telah bersertipikat, maka warkah yang memegang peranan dan digunakan oleh Pemerintah sebagai bukti otentik dalam menentukan siapa yang benar dari pihak yang bermasalah tersebut. Karena melihat informasi yang terdapat pada warkah akan dapat diketahui diketahui riwayat tanah, proses pengajuan sertipikat yang sesuai dengan aturan dan prosedur, sehingga Warkah harus tersimpan dan tercatat dengan baik.

Jenis – jenis Surat Tanah Sebagai Bukti Penguasaan Atas Tanah

 

Jenis – jenis Surat Tanah Sebagai Bukti Penguasaan Atas Tanah

 

Pendahuluan

Berdasarkan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, sertifikat tanah yang sah di mata hukum adalah Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), dan Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS). Namun ternyata, ada lagi jenis surat-surat yang kerap digunakan masyarakat Indonesia sebagai bukti penguasaan akan sebuah tanah. Bentuk penguasaan ini diakui oleh peraturan pertanahan indonesia adapun bentuk kepemilikan tersebut adalah sebagai berikut :

1.       Girik

2.       Petok D

3.       Letter C

4.       Surat Ijo

5.       Rincik

6.       Wigendom atau Eigendom Verbonding

7.       Hak Ulayat

8.       Opstaal

9.       Gogolan

10.   Gebruik

11.   Erfpacht

12.   Bruikleen

Ternyata jenis – jenis kepemilikan tanah yang pernah dan masih digunakan di Indonesia banyak ya!!!. Dan untuk lebih memperjelas pengertian dari masing-masing bukti kepemilikan tersebut akan mari kita bahas satu persatu.

Girik.

Ungkapan dan istilah girik adalah istilah yang sudah populer. Girik ini bukanlah seperti sertipikat sebagai bukti kepemilikan tanah, melainkan hanya merujuk pada sebuah surat pertanahan yang menunjukkan penguasaan lahan untuk keperluan perpajakan. Di dalam surat ini dapat ditemui nomor, luas tanah, serta pemilik hak atas tanah karena jual-beli atau warisan. Kepemilikan tanah dengan surat girik ini sendiri harus ditunjang dengan bukti lain yaitu kepemilikan Akta Jual beli atau surat waris.

Petok D.

Sebelum tahun 1960 atau sebelum UUPA terbit, surat Petok D memiliki kekuatan yang setara dengan sertipikat kepemilikan tanah. Namun setelah Undang-Undang Pokok Agraria berlaku pada 24 Desember 1960, kekuatan pembuktian tersebut tidak lagi berlaku. Kini, surat Petok D hanya dianggap sebagai alat bukti pembayaran pajak tanah oleh sang pengguna tanah. Jadi, surat ini sangat lemah jika difungsikan sebagai surat kepemilikan atas tanah. Akibat dari masih banyaknya masyarakat yang tidak tahu dengan adanya perubahan peraturan tersebut, surat Petok D kerap menjadi bukti yang menimbulkan permasalahan dalam jual-beli tanah.

Letter C.

Kepemilikan atas tanah di Indonesia biasanya diberikan secara turun-temurun. Karena pada zaman dulu pengaturan atas kepemilikan properti belum terlalu ketat pengaturannya, maka muncul berbagai surat-surat tanah, salah satunya surat Letter C. Letter C merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah oleh seseorang yang berada di kantor desa/kelurahan. Letter C yang berbentuk buku ini sendiri fungsinya adalah sebagai catatan penarikan pajak dan keterangan mengenai identitas tanah pada zaman kolonial. Namun pada masa kini, Letter C masih kerap digunakan sebagai identitas kepemilikan tanah dan menjadi bukti transaksi jual beli tanah. Data-data tanah yang berada dalam Letter C ini sendiri disebut-sebut kurang lengkap karena pemeriksaan dan pengukuran tanahnya  selalu dilakukan dengan asal-asalan. pembahasan lengkap mengenai letter C dapat dilihat pada tulisan berikut

Apa Itu Letter C

Surat Ijo.

Surat Hijau atau Surat Ijo bukti penguasaan atas tanah ini hanya berlaku di Kota Surabaya. Surat Hijau ini merujuk pada surat dengan tanah berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari pemerintah kota kepada orang yang menyewa tanah tersebut. Surat Ijo tersebut dapat diperpanjang oleh pihak penyewa selama tanah yang disewakan tidak akan digunakan oleh Pemkot Surabaya.

Mengapa namanya Surat Ijo? hal ini dikarenakan blangko surat perizinan atas hak pemakaian tanahnya menggunakan blanko yang berwarna hijau. Disebutkan, lahan tanah dengan Surat Ijo ini tidak akan diberikan atau dijual kepada penyewa karena dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Maka itu tanah-tanah tersebut tetap dibiarkan sebagai tanah sewaan dengan keterangan Surat Ijo.

Rincik

Rincik alias Surat Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 yang merupakan salah satu bukti pemilikan yang berdasarkan penjelasan pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 merupakan bukti pemilikan atas pemegang hak lama. Rincik merupakan istilah yang dikenal di beberapa daerah seperti Makassar dan sekitarnya, namun rincik memiliki nama atau sebutan yang berbeda-beda di berbagai daerah. Hal ini disebabkan karena pembuatan rincik dibuat oleh pejabat daerah setempat dan didasarkan atas dasar hak ulayat masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya oleh undang-undang, sehingga sebutannya dapat bermacam-macam. Sebelum diberlakukannya UUPA, rincik memang merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, tetapi setelah berlakunya UUPA, rincik bukan lagi sebagai bukti hak atas tanah, namun hanya berupa surat keterangan objek atas tanah, dan terakhir dengan adanya UU. No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Rincik sendiri, dapat dijadikan alat untuk membuktikan penguasaan dan penggunaan seseorang terhadap tanah yang dikuasai, sehingga jika tidak dikuatkan dengan alat bukti lain, rincik tidak mutlak dijadikan alat bukti hak milik atas tanah, melainkan hanya penguasaan dan penggunaan atas tanah. Hal ini dikuatkan dengan Putusan MA tanggal 12 Juni 1975 Nomor: 1102 K/Sip/1975, Putusan MA tanggal 25 Juni 1973 Nomor: 84 K/Sip/1973, dan Putusan MA tanggal 3 Februari 1960 Nomor: 34 K/Sip/1960.

Wigendom atau Eigendom Verponding.

Eigendom Verponding adalah hak tanah yang berasal dari hak-hak Barat, yang diterbitkan pada zaman Belanda untuk orang – orang pribumi atau Warga Negara Indonesia. secara harfiah jika diartikan per kata Eigendom adalah hak milik tetap atas tanah dan Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau tanah dan bangunan dimaksud. Namun saat ini sama seperti surat surat yang lain verponding tersebut berubah menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).

Secara realitas pun saat ini memang banyak tanah-tanah Eigendom Verponding yang sudah dikuasai oleh pihak lain atau tanah dikuasai oleh bukan pemegang Wigendom. Dan yang perlu diketahui bahwa jika di lokasi tanah tersebut sudah dikuasai pihak lain apalagi pihak yang menguasai tersebut sudah memegang sertifikat yang sah, maka secara hukum merekalah pemiliknya, hal ini merujuk kepada peraturan konversi menurut UUPA yaitu pemberlakuan konversi atau pembuktian hak lama terhadap hak-hak barat (termasuk eigendom) dilakukan dengan pemberian batas jangka waktu sampai 20 tahun sejak pemberlakuan UUPA. Artinya, mensyaratkan terhadap hak atas tanah eigendom dilakukan konversi menjadi hak milik selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980.

Hak Ulayat

Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya tinggal, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. yang termasuk syarat untuk pengakuan terhadap tanah yang dikelola oleh sekolompok masyarakat, sehingga dapat di kategorikan tanah Ulayat/Tanah Adat, adalah :

1.       Diatas tanah ulayat/ tanah adat tersebut terdapat masyarakat hukum adat yang mengelolah tanahtersebut

2.       Masyarakat adat tersebut memilki tatanan/aturan-aturan adat yang sifatnya mengikat kepada masyarakat hukum adat tersebut

3.       Tanah yang kelompok hukum adat diklaim sebagai tanah Ulayat/tanah adat adalah tanah tempat masyarakat hukum adat anda mengambil keperluan hidup sehari-hari.

4.       Terdapat tatanan/aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana tata cara pengelolaan tanah adat tersebut.

Persekutuan dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan yang erat, hubungan yang bersifat religio-magis, hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang yang pada dasarnya berupa hak untuk :

·         Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada diwilayah wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan.

·         Hak untuk berburu dalam batas wilayah atau wewenang hukum masyarakat mereka.

Kedudukan hak ulayat ini, berlaku keluar dan kedalam. Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau memberikan ganti kerugian, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan. Berlaku kedalam, karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup diatasnya. Antara hak ulayat dan hak warga masing-masing ada hubungan timbal balik. Jika seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon-pohon diatas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu (Penjelasan ini tercantum dalam pasal 20 UUPA)

Opstaal.

Opstaal adalah hak yang diberikan oleh belanda berupa hak kebendaan untuk menumpang (Hak Numpang Karang), Hak numpang karang dan hak usaha tergolong hak kebendaan. Pengertian lain dari hak opstal adalah suatu hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman tanaman diatassebidang tanah orang lain. Adapun, Hak Opstal ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang terdapat di atas tanah eigendom orang lain sepanjang sesuatu tersebut bukanlah kepunyaan “eignaar” tanah yang bersangkutan. Segala sesuatu yang dapat dimiliki itu misalkan rumah atau bangunan, tanaman dan sebagainya.

Hak numpang karang diatur dalam Buku II Bab Ketujuh PasaL 711— Pasal 719 Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disingkat KUH Perdata). Sedangkan hak usaha diatur dalam Buku II bab Kedelapan PasaL 720 – 736 KUH Perdata. Menurut ketentuan Pasal 711 KUH Perdata hak ini adalah hak kebendaan untuk mempunyai gedung bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain. pemilik tanah primer, selama hak numpang karang berjalan tidak boleh mencegah orang yang mempunyai hak itu untuk membongkar gedung atau bangunan atau menebang segala tanaman dan mengambil salah satu di antaranya, bila pemegang hak itu telah melunasi harga gedung, bangunan dan tanaman itu pada waktu memperoleh hak tersebut, atau bila gedung, bangunan dan tanaman itu didirikan, dibangun dan di tanam oleh pemegang hak itu sendiri, tanpa mengurangi kewajiban pemegang hak untuk mengembalikan pekarangan tersebut dalam keadaan semula seperti sebelum hal-hal tersebut didirikan, dibangun atau ditanam. Dan jika hak ini telah berakhir maka pemilik pekarangan menjadi pemilik gedung, bangunan dan tanaman di atas pekarangan, dengan kewajiban membayar harganya pada saat itu juga kepada yang mempunyai hak numpang karang yang dalam hal ini berhak menahan sesuatu sampai pembayaran itu dilunasi. namun bila hak numpang karang diperoleh atas sebidang tanah yang diatasnya telah terdapat gedung-gedung, bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman yang harganya tidak dilunasi oleh penerima hak numpang karang itu, maka pemilik tanah, pada waktu berakhirnya hak tersebut, dapat menguasai kembali semua benda itu tanpa wajib mengganti kerugian.

Gogolan.

Hak ini adalah hak seorang gogol (kuli) atas tanah komunal desa atau Communal Bezit yang dianggap sebagai tanah desa, hak ini diperoleh karena tanah tersebut telah diusahakan oleh orang orang tertentu atau gogol. Hak gogolan juga sering disebut hak sanggao atau hak pekulen. Jenis hak gogolan terdiri dari 2 jenis hak gogolan, yaitu:

1.       Hak gogolan yang bersifat tetap Hak gogolan bersifat tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus memunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol itu meninggal dunia, dapat diwariskan tertentu.

2.       Hak gogolan yang bersifat tidak tetap adalah Hak gogolan yang bersifat tidak tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa

Gebruik.

Hak gebruik adalah sebuah hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya. Hak gebruik ini memberikan akan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya bagi diri dan keluarganya saja. Disamping itu pemegang hak gebruik ini boleh pula tinggal di atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku haknya itu. Hak gebruik ini diatur oleh apa yang telah ditentukan sendiri dalam perjanjian kedua belah pihak.Tapi jika tidak ada perjanjian antara kedua belah pihak, maka berlakulah pasal 821 dan pasal-pasalyang berkaitan dengan hal itu dalam KUH Perdata.

Pasal 281 KUHPerdata “ barang siapa mempunyai hak pakai atas sebuah pekarangan, hanya diperbolehkan menarik hasil-hasil dari pekarangan itu, sekedar dibutuhkan sendiri dan anggota keluarganya ”.

Erfpacht.

Erfpacht sering juga disebut sebagai Hak Usaha, hak ini diatur dalam pasal 720 KUHPer/BW, pengertian pengertian hak usaha menurut Pasal 720 KUH Perdata adalah suatu hak kebendaan untuk menikmai sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban untuk membayar upeti tahunan kepada pemilik sebagai pengakuan atas kepemilikannya, baik berupa uang, berupa hasil atau pendapatan. Hak erfpacht terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

·         Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, dapat dikonversi menjadi hak guna usaha.

·         Hak erfpacht untuk perumahan, dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.

·         Hak erfpacht untuk pertanian kecil, tidak dikonversi dan dihapus.

Bruikleen.

Bruikleen adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma kepada pihak lain untuk dipakainya dengan disertai kewajiban untuk mengembalikan benda tersebut pada waktu yang ditentukan. Perjanjian ini juga dapat dikatakan sebuah bukti atas penguasaan tanah Bruikleen, sehingga jika dikonversi maka menjadi hak pakai.

Friday, February 15, 2019

Aktifitas

Eksepsi perdata

EKSEPSI DAN BANTAHAN POKOK PERKARA


A.     Ruang Lingkup Eksepsi
1.      Pengertian dan Tujuan
Eksepsi atau exception berarti pengecualian. Dalam hukum acara, eksepsi adalah tangkisan, bantahan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Eksepsi diajukan penggugat menyangkut hal-hal yang bersifat formil dari sebuah gugatan, yang mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Eksepsi yang diajukan penggugat tidak ditujukan atau menyangkut pada pokok perkara (verweer ten principale). Tujuan dari eksepsi yaitu majelis hakim mengakhiri proses pemeriksaan perkara tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara dengan menjatuhkan putusan negatif, gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
2.      Cara Mengajukan Eksepsi
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134 dan Pasal 136 HIR. Cara pengajuan suatu eksepsi berbeda satu sama lain dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir atau Absolute Competency)
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut dilakukan dengan (Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv):
dapat diajukan setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat Pengadilan Negeri;
dinyatakan oleh hakim secara ex-officio (Vide Putusan MA No. 317 K/Pdt/1984), sesuai dengan bunyi Pasal 132 Rv yaitu “dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.
Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR. Menurut ketentuan tersebut, bentuk pengajuan eksepsi dapat berbentuk lisan dan tertulis, yang diajukan pada saat menyerahkan Surat Jawaban/Eksepsi (Vide Putusan MA No. 1340 K/Sip/1971).  
Eksepsi Yang Tidak Diajukan Pada Jawaban Pertama Gugur
Menurut Pasal 136 HIR, eksepsi yang tidak diajukan dengan jawaban pertama bersama-sama dengan keberatan terhadap pokok perkara, dianggap gugur. Oleh karena itu, eksepsi yang diajukan melampaui batas tidak dipertimbangkan oleh hakim. Pasal 114 Rv juga menegaskan bahwa, tergugat yang mengajukan eksepsi, wajib mengajukannya bersama-sama dengan jawaban mengenai pokok perkara.
3.      Cara Penyelesaian Eksepsi
Eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus oleh hakim sebelum memeriksa pokok perkara (Vide Pasal 136 HIR), yang dituangkan oleh hakim dalam putusan sela (interlocutory) atau dituangkan dalam putusan akhir (eind vonnis, final judgement). Eksepsi di luar berkenaan dengan kompetensi mengadili menurut Pasal 136 HIR dan Putusan MA No. 935 K/Sip/1985, diperiksa dan diputus secara bersama-sama dengan pokok perkara.

4.      Jenis Eksepsi
            Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)
Eksepsi ini berdasarkan hukum acara, yaitu jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi prosesual dibagi menjadi dua diantaranya:
1.      Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sifatnya absolut (exceptie van onbeveogheid/Eksepsi Kewenangan Absolut)) adalah pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, tetapi lingkungan atau pengadilan lain yang berwenang mengadilinya.
2.      Eksepsi tidak berwenang mengadili yang bersifat relatif (Eksepsi Kewenangan Relatif) yang diatur dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv yang berpatokan pada :
(i)           domili dari tergugat (actor sequitur forum rei),
(ii)         hak opsi dari penggugat, di mana tergugat terdiri dari beberapa orang,
(iii)       tanpa hak opsi, di mana tergugat terdiri dari debitur dan penjamin, maka tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri penjamin,
(iv)       tempat tinggal penggugat, jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya,
(v)         forum rei sitae dengan hak opsi yaitu objek sengketa benda tidak bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan untuk mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri,
(vi)       domisili hukum pilihan yang disepakati penggugat dan tergugat dalam perjanjian.    

            Eksepsi Prosesual di Luar Kompetensi Relatif
Eksepsi prosesual di luar kompetensi relatif terdiri atas:
1.      Eksepsi surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging tidak sah secara hukum (Vide Pasal 123 HIR dan Putusan MA No. 531 K/Sip/1973) karena tidak memenuhi unsur formil. Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR, Putusan MA No. 1712 K/Pdt/1984 dan SEMA No. 1 Tahun 1971 serta SEMA No. 6 Tahun 1994 surat kuasa khusus harus memuat secara jelas (i) secara spesifik kehendak untuk berperkara di Pengadilan Negeri tertentu sesuai dengan kompetensi relatif, (ii) identitas para pihak yang berperkara, (iii) menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang diperkarakan, (iv) mencamtumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa, (v) surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang.
2.      Eksepsi error in persona yaitu (i) yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berhak atau eksepsi diskualifikasi, (ii) yang ditarik sebagai tergugat keliru (Lihat Putusan MA No.601 K/Sip/1975), (iii) orang yang ditarik sebagai penggugat tidak lengkap atau kurang atau exceptio plurium litis consortium.
3.      Exceptio res judicata atau ne bis idem yaitu suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4.      Exceptio Obscuur Libel adalah surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk) atau formulasi gugatan tidak jelas. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 8 Rv yang menegaskan, pokok-pokok gugatan harus disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu, demi kepentingan beracara (process doelmatigheid). Dalam praktik eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) berbentuk, (i) tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan (Vide Putusan MA No. 1145 K/Pdt/1984). (ii) tidak jelasnya objek sengketa yang meliputi tidak disebutnya batas-batas objek sengketa, luas objek sengketa berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah dan tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasai tergugat. (iii) petitum gugatan tidak jelas yang meliputi petitum tidak dirinci dan kontradiksi antara posita dengan petitum. (iv) masalah posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
        Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exceptie)
Dari pendekatan doktrin, terdapat beberapa macam eksepsi hukum materil, dengan uraian sebagai berikut:
a.       Exceptio Dilatoir, yaitu gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampaui dini;
b.      Exceptio Peremptoir, yaitu eksepsi yang berisi sangkalan, yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Sangkalan tersebut karena, pertama gugatan sudah kadaluwarsa (Vide Pasal 1950 dan Pasal 1967 KUH Perdata) yang dapat dilihat dalam Putusan MA No. 707 K/Sip/1972. kedua peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan mengandung paksaan dan penipuan (exceptio doli mali dan exceptio metus). Ketiga objek gugatan bukan kepunyaan penggugat, melainkan tergugat atau orang lain (exceptio domini). Keempat gugatan yang diajukan sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan (exceptio litis petendis).
B.     Bantahan Terhadap Pokok Perkara
Bantahan terhadap pokok perkara disebut juga ver weer ten principale adalah tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Esensi dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau tulisan untuk melumpuhkan kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawaban.
1. Bantahan Disampaikan Dalam Jawaban
Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat (2) HIR, jawaban tergugat berisi bantahan yang diajukan baik secara lisan dan tertulis untuk menyangkal semua fakta dan dalil hukum penggugat. Proses pengajuan bantahan yang merupakan proses jawab-menjawab digariskan dalam Pasal 142 dan Pasal 117 Rv, yang memberikan kesempatan para pihak untuk menyampaikan surat jawaban, replik dan duplik dan sebagai konsekuensi asas audi altream partem dan process doelmatigheid.
Suatu bantahan dalam sebuah jawaban berisi tentang ketidakbenaran dan/atau kebenaran dalil penggugat. Isi dari jawaban penggugat dapat berupa:
a.       Jawaban penggugat diserta alasan-alasan yang rasional dan objektif (Vide Pasal 113 Rv);
b.      Membenarkan sebagian atau seluruh dalil-dalil gugatan penggugat (Vide Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata);
c.       Membantah dalil gugatan atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) atau melumpuhkan kekuatan pembuktian tergugat, yang disertai dengan alasan-alasan kebenaran dalil gugatan atau peristiwa hukum yang terjadi (Vide Pasal 113 Rv);
d.      Tidak memberi pengakuan maupun bantahan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim (referte aan het oordel des rechters) dalam jawaban.    
 
2. Bantahan Beserta Eksepsi
Jawaban yang berisi eksepsi dan pokok perkara harus dinyatakan secara sistematis dalam jawaban untuk memudahkan hakim mempelajari jawaban yang disampaikan. Sistematisasi jawaban dengan mendahulukan uraian eksepsi, pokok perkara dan kesimpulan.

Wednesday, February 13, 2019

Acara Perdata

HUKUM ACARA PERDATA


Pengertian Pokok Hukum Acara
Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil.

Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).

HIR ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 no 44

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)

Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)

Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis. BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.

Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).

Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)

Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.

Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb :
1.   Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2.   Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3.   Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
4.   Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum
5.   Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.

Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
1.   Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2.   Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan KUHAPer
3.   Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.

Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA


1.   Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.

2.   Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)

3.   Hakim bersifat aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

4.   Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)

5.   Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.

6.   Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa

7.   Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.


Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.

8.   Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.

9.   Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.

PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA PIDANA

1.   Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari negara.(Jaksa Penuntut)


2.   Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3.   Dalam acara pidana hakim bertindak memimpinsedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja.
4.   Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara pidana.


Foto Aktifitas kepengacaraan